diAry Arfan: Berkenalan Yuks..: Assalamualaikum... Heii..lu udah pada lihat profil gue ngakk,,? kalau belum, perkenalkan nama gue Muh. Arfan Arsyad, lu bisa panggil...
Visitors
Popular Posts
-
Tewasnya istri Saipul Jamil, Virginia Anggraeni dalam sebuah kecelakaan langsung menjadi perbincangan banyak orang di situs jejaring ...
-
Untuk membuat game android sih, sebenarnya gampang-gampang susah. gampangnya jika kita sudah memiliki tujuan dan algoritma yang jelas dar...
-
GRAFFITI... Grafiti (juga dieja grafitty atau grafitti) adalah kegiatan seni rupa yang menggunakan komposisi w...
-
Benarkah ada reinkarnasi? Dunia memang penuh misteri. Benar atau tidaknya, akan terus menjadi perdebatan. Banyak cerita beredar tentang ...
-
Helikopter adalah jenis sepeda motor yang baik dimodifikasi dari desain sepeda motor asli atau dibangun dari awal untuk memiliki penampil...
Pengikut
Labels
unik
(
253
)
ngakak
(
133
)
sejarah
(
109
)
other
(
107
)
sains
(
100
)
artis
(
98
)
motivasi
(
90
)
tips dan trik
(
90
)
teknologi
(
79
)
rekor
(
76
)
tokoh
(
73
)
misteri
(
62
)
android
(
45
)
android tutorial
(
31
)
pc
(
19
)
blog
(
15
)
blog tutorial
(
15
)
pc tutorial
(
14
)
Android Mod
(
12
)
SEO
(
8
)
akademik
(
8
)
tutorial
(
8
)
Smartphone
(
6
)
game android
(
6
)
app android
(
4
)
pc software
(
4
)
pengetahuan android
(
4
)
tweak
(
4
)
e-book
(
3
)
Cross
(
2
)
Hiburan
(
2
)
Xperia
(
2
)
download
(
2
)
foto lucu
(
2
)
pengetahuan pc
(
2
)
Samsung
(
1
)
grafis
(
1
)
index
(
1
)
motifasi
(
1
)
tips
(
1
)
tools
(
1
)
Browsing "Older Posts"
1. Mimizuka ( Kyoto, Jepang )
Monumen ini didirikan untuk memperingati tewasnya 38.000 warga Korea akibat pembantaian Samurai² Jepang pada kurun 1592-1598.Namun bukan berarti dibangun karena banyaknya jenazah yang berada di sana,melainkan karena di sanalah tempat di kuburkannya anggota tubuh warga Korea yg dibantai berupa telinga dan hidung mereka. |
|
|
|
|
Labels:
unik
Jika kau menciumnya, kau bukan gentleman
Jika kau tidak menciumnya, kau bukan lelaki
Jika kau memujinya, ia akan mengira kau ngegombal
Jika kau tidak memujinya, kau adalah lelaki tak berguna
Jika kau setuju semua keinginannya, dia akan ngelonjak
Jika kau tidak setuju, kau tidak pengertian
Jika kau bercinta dengannya, kau dicurigai “sudah ahli”
Jika kau tidak bercinta dengannya, kau bukan lelaki
Jika kau kunjungi dia sering-sering, dia pikir kau membosankan
Jika tidak kau kunjungi sering-sering, dia menuduhmu main sama orang lain
Jika kau berpakaian rapi, dia bilang kau menarik perhatian wanita lain
Jika kau tidak berpakaian rapi, dia bilang kau berantakan
Jika kau cemburu, dia bilang kau jahat
Jika kau tidak cemburu, dia bilang kau tidak cinta padanya
Jika kau ingin bercinta, dia kata kau tidak menghormatinya
Jika kau tidak ingin bercinta, dia pikir kau tidak suka padanya
Jika kau telat satu menit, dia akan marah-marah
Jika dia telat satu jam, dia bilang itu memang seharusnya seorang wanita
Jika kau mengunjungi wanita lain, dia akan menuduh kau punya wanita lain
Jika dia dikunjungi lelaki lain, “Oh! Sudah biasa, kami wanita!”
Jika kau menciumnya sebentar, dia tuduh kau orangnya dingin
Jika kau menciumnya lama, dia teriak bahwa kau kurang ajar
Jika kau gagal membantu dia menyeberang jalan, kau kurang etika
Jika kau berhasil membantunya menyeberang jalan, dia anggap itu taktik lelaki
Jika kau menatap wanita lain, dia tuduh kau buaya
Jika dia ditatap lelaki lain, dia berkata bahwa mereka mengaguminya
Jika kau membiayai hidupnya, dia pikir kau meremehkannya
Jika kau tidak membiayai hidupnya, dia pikir kau peli
Jika kau bercinta dengan wanita lain, dia minta putus
Jika dia bercinta dengan lelaki lain, “Bukan salahku! Dia yang memaksa!
Jika kau berhasrat bercinta dengannya, dia anggap hanya itu yang kau inginkan
Jika kau tidak berhasrat bercinta dengannya, dia anggap kau jual mahal
Jika kau bicara, dia ingin kau sendiri mendengar yang kau bicarakan
Jika kau mendengar, dia ingin kau yang bicara
Jika saat bercinta dia diam saja,dia minta dicumbu
Jika saat bercinta kau diam saja, dia juga diam saja
Jika dia menangis, kau salah telah membuatnya menangis
Jika kau menangis, dia pergi darimu karena kau bukan lelaki sejati
Labels:
unik
Kembali
lagi di #TanyaJawabMBDC, tempatnya kamu bertanya segala macam
pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Bu Guru dan Pak Guru. Yah,
walaupun mereka itu bak pelita, penerang dalam gulita, tapi belum tentu
mereka mau jawab semua pertanyaan kamu. Tapi MBDC mau! Pertanyaan hari
ini datang dari @fahmifarid5 :
Wah, pertanyaan menarik. Tapi sebelum MBDC mulai jawab, kamu udah tahu bedanya Pup, Beol, Eek, sama Berak
kan? Supaya yakin aja gitu. Pada dasarnya sih agak kurang tepat ya kalo
dibilang eek itu warnanya kuning, karena sebenernya agak
kecoklat-coklatan gitu. Tapi emang sih kuningnya cukup dominan. Nah,
kenapa sih eek warnanya kuning, bukan yang lain?
1. Supaya Menarik Perhatian
Warna
kuning adalah warna yang paling menarik perhatian. Itulah sebabnya
papan peringatan itu banyak yang warnanya kuning, supaya perhatian kamu
tertarik ke situ. Nah, demikian juga dengan eek. Dengan eek itu warna
kuning, maka pastinya perhatian kamu akan tertuju ke situ dan dengan
spontan kamu akan berteriak, "Eh, ada eek!!". Coba kalo warnanya biru
atau ungu. Pasti kamu gak akan bereaksi seperti itu.
2. Warna Kuning Menimbulkan Perasaan Frustasi dan Marah
Biarpun
suka dibilang sebagai warna ceria, tapi warna kuning ternyata bisa
menimbulkan perasaan frustasi dan marah. Penelitian membuktikan bahwa
seseorang akan lebih murah jika berada di dalam ruangan kuning dan bayi
akan lebih sering menangis jika berada di ruangan kuning. Nah, coba kalo
ada yang bilang ke kamu, "Eek lo!" Kamu pasti frustasi dan marah kan?
Begitu juga kalo kamu tiba-tiba melihat ada banyak eek di kamar kamu.
Kamu juga pasti frustasi dan marah dong? Kalo eeknya warna biru, ntar
kamu merasa nyaman trus eeknya kamu biarin gitu aja lagi di kamar kamu.
3. Karena Warna yang Lain Itu…
Biru itu lambang galau dan ungu itu warna janda. Eek itu gak galau dan eek jelas bukan janda. Jadi yah, gitu deh.
Terjawab kan pertanyaannya? Semoga kamu gak bingung lagi ya.
*Punya
pertanyaan yang gak bisa dijawab mama kamu? Tanyakan langsung ke MBDC
via Twitter (@malesbanget) setiap Sabtu dengan hashtag #TanyaJawabMBDC.
Pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Namun
menelusuri sejarah pelacuran di Indonesia dapat dirunut mulai dari masa
kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu
merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal (Hull; 1997:1-22).
Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika
kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanana
Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah
selatan Jawa Tengah.
Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan
sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja
Mataram sangat besar. Mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak
hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahaya. Anggapan ini
apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat ini mempunyai arti
tersendiri.
Raja mempunyai kekuasaan penuh. Seluruh yang ada di atas
Jawa, bumi dan seluruh kehidupannya, termasuk air, rumput, daun, dan segala
sesuatunya adalah milik raja. Tugas raja pada saat itu adalah menetapkan hukum
dan menegakkan keadilan; dan semua orang diharuskan mematuhinya tanpa
terkecuali. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya
selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan
yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan.
Sebagian lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada
juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga
tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana.
Sebagian selir raja ini dapat meningkat statusnya karena
melahirkan anak-anak raja. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari
daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat.
Reputasi daerah seperti ini masih merupakan legenda sampai saat ini. Koentjoro
(1989:3) mengidentifikasi 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal
sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan; dan sampai sekarang daerah tersebut
masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota.
Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Indramayu, Karawang,
dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah;
serta Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Kecamatan Gabus
Wetan di Indramayu terkenal sebagai sumber pelacur; dan menurut sejarah daerah
ini merupakan salah satu sumber perempuan muda untuk dikirim ke istana Sultan
Cirebon sebagai selir. (Hull, at al. 1997:2).
Makin banyaknya selir yang dipelihara, menurut Hull, at al.
(1997:2) bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan
fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan
para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya raja dan kaum
bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau
anak perempuan kepada bupati atau pejabat tinggi merupakan tindakan yang
didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti
tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan
dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status
perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan
sebagai selir.
Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak
terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana
perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang
biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta
rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis menjadi
milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam
lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur.
Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur (ENI,
dalam Hull; 1997:3).
Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang
pesat pada periode penjajahan Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi tersebut terlihat
dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan
untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini
berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk
para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan
budaya asing yang masuk ke Nusantara.
Dari semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak dilema
bagi penduduk pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki
bujangan yang dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk
datang ke Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini.
Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas
memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak
perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para pelanggan baru (para lelaki
bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik penduduk pribumi maupun masyarakat
kolonial menganggap berbahaya mempunyai hubungan antar ras yang tidak menentu.
Perkimpoian antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan
perseliran antar ras juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini
biasanya dilaksanakan secara diam-diam. Dalam hal ini, hubungan gelap (sebagai
suami-istri tapi tidak resmi) dan hubungan yang hanya dilandasi dengan motivasi
komersil merupakan pilihan yang tersedia bagi para lelaki Eropa. Perilaku
kehidupan seperti ini tampaknya tidak mengganggu nilai-nilai sosial pada saat
itu dan dibiarkan saja oleh para pemimpin mereka. (Hull; 1997:4).
Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para
perempuan Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak
menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan
dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka sekitar tahun
1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama
Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang
setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut
tidak menjelaskan apa dan mana yang dimaksud dengan perempuan “baik-baik”.
Pada tahun 1650, “panti perbaikan perempuan” (house of
correction for women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para
perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan
melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian,
peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan “tanpa izin”
menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat toleransi
komersialisasi seks pada saat itu (ENOI, dalam Hull; 1997:5).
Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang
menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengana serangkaian aturan untuk
menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini.
Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah-istilah
yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan kontribusi bagi
penelaahan industri seks yang berkaitan dengan karakteristik dan dialek yang
digunakan saat ini. Apa yang dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang
ini, pada waktu itu disebut sebagai “wanita publik” menurut peraturan yang
dikeluarkan tahun 1852.
Dalam peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara
langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang
terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu)
menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau
penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).
Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin,
perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan
dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan
khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi
dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat
mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil.
Sayangnya peraturan perundangan yang dikeluarkan tersebut
membingungkan banyak kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga
membingungkan pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan
berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa
peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga
komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat
konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun
perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah,
tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri.
sumber
Labels:
other
Langganan:
Postingan
(
Atom
)