Ini
adalah Makalah Prof. Wertheim yang diterbitkan sebagai suplemen pada
majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah
disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23September 1990 di
Amsterdam. berikut artikelnya:
Para hadirin yang terhormat!
Saya minta ijin untuk, sebelum
mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebih dahulu
menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran
saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu
detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki.
Dalam tahun 1957 saya bersama
isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. Saya pernah
bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan
partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari
orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu
akan mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu
dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokoh terkemuka
lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri
suatu konperensi di Helsinki. Saya engingatkannya bahwa keadaan di
Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok
dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa
ada bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan.
Saya anjurkan dengan kera s supaya golongan kiri di Indonesia
mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik.
Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan
sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun
dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain.
D.N. Aidit
Saya tidak berhasil meyakinkan
Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio tentang
formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon
saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas,
menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami
dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah
berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan:
"Saya takut mungkin kemarin Anda benar!"
Seminggu sesudahnya saya terima
kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya
memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak
mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?"
Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti
keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927
waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis
kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton
(Guangzhou)". Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya
terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell
Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa
September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah
peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa
di Indonesia dan oleh dunia Barat.
Kesimpulan seperti ini salah
sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh
berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem
diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa
berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga
merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu
belaka.
Social Links: