”Amsterdam. Pengungsi Indonesia tiba di Belanda setelah diusir dari negara mereka karena memegang paspor Belanda. Dari kapal, mereka dibawa ke kamp-kamp untuk pemeriksaan medis dan kemudian dikirim ke rumah-rumah di seluruh negeri. Bagi sebagian di antara mereka, Belanda terlalu dingin sehingga banyak yang tewas....”
Demikian catatan di balik sebuah foto yang menggambarkan seorang perempuan berwajah Ambon, dengan pakaian kebaya putih, ketika baru tiba ke Pelabuhan Amsterdam. Dalam foto yang lain, seorang perempuan berkerudung asal ”Indonesia” tampak tersenyum bahagia.
Teks di belakang foto tertulis, ”Perempuan ini meninggalkan Indonesia setelah negaranya memperoleh kemerdekaannya dan tiba di sini, di Amsterdam, untuk bergabung dengan keluarganya, yang telah datang lebih dulu.”
Foto-foto itu diabadikan oleh fotografer Magnum, Leonard Freed, selama kurun 1958-1962 dan dipamerkan di Tropenmuseum, Amsterdam, pada pengujung September 2010.
Serial foto ini menggambarkan tentang orang-orang Indonesia—kebanyakan berasal dari Ambon—saat baru datang di Belanda hingga beberapa saat setelah mereka tinggal di negeri itu. Mereka kebanyakan eks tentara Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) dan keluarga. Foto-foto ini mengingatkan pada kisah komunitas Maluku di Van Het Rijk, Nistelrode, Provinsi Noord Brabant, yang saya temui akhir Oktober 2008. ”Waktu baru datang, kami sangat menderita,” kenang Helena Mparityenan (80).
Helena adalah generasi pertama Maluku yang datang ke Belanda tahun 1951. Dia merasakan penderitaan dalam perjalanan dengan kapal dari Surabaya menuju Belanda dan hidup bertahun-tahun di barak.
Kehidupan yang pahit di Belanda membuat sebagian orang yang terusir dari kampung asalnya memendam rasa marah terhadap sesuatu yang berbau Indonesia. Sebagian dari mereka kemudian mendirikan Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda.
Gerakan yang awalnya mendapat dukungan dari masyarakat Belanda ini biasanya berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar RI (KBRI) setiap peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus dan peringatan pembentukan RMS pada 20 April.
Namun, beberapa aksi nekat simpatisan RMS membuat mereka kehilangan dukungan. Misalnya, penyanderaan 18 tenaga staf KBRI pada 1966, pendudukan Wisma Duta pada 13 Agustus 1970, dan penyanderaan di Konsulat Jenderal RI di Amsterdam tahun 1975. Puncaknya ketika mereka menyandera penumpang kereta api di Wijster dekat Beilen, Juli 1975, yang menewaskan dua orang di antaranya; pembajakan kereta api dari Assen dan Groningen, utara Belanda, pada 1977; dan penyanderaan 110 orang, sebagian besar anak sekolah, di Bovensmilde pada tahun 1978.
Masyarakat Belanda yang semula bersimpati lalu menjauh dan acuh dengan mereka. RMS kehilangan dukungan moral maupun keuangan. Tak hanya itu, generasi penerus RMS di Belanda juga semakin acuh dengan gerakan politik pendahulu mereka. Salah satunya adalah Daniel Irijanan (25) dari Nistelrode.
Kakeknya, Ezechiel Irijanan, berasal dari Maluku Tenggara dan neneknya dari Sunda. Daniel adalah generasi ketiga keturunan eks tentara KNIL yang menetap di Belanda sejak tahun 1950-an.
Daniel enggan berbicara politik, terutama yang berkaitan dengan RMS. Tema pembicaraan yang paling disukainya adalah tentang Ajax. Maklum, Daniel mengaku pendukung fanatik klub sepak bola raksasa dari Belanda itu. Daniel mengaku sudah beberapa kali pulang ke kampung leluhurnya di Ambon. Untuk berwisata dan mengunjungi kerabat.
Pascal Amukwaman, mantan Ketua Organisasi Nasional Sosial Maluku di Belanda, mengatakan, gerakan RMS tidak lagi populer di mata generasi ketiga. Walaupun masih ada simpatisan RMS, jumlahnya terus berkurang. Tidak signifikan dan gerakan ini nyaris tak terdengar lagi di Belanda dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh karena itu, banyak orang Indonesia, termasuk kalangan Maluku, di Belanda yang terkejut dengan pembatalan rencana kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda gara-gara RMS mendaftarkan tuntutan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia ke pengadilan Belanda. RMS yang semula nyaris mati angin tiba-tiba mendapat angin.
Pembatalan kunjungan ini memang mengagetkan karena terjadi di tengah membaiknya hubungan diplomatik kedua negara. Seiring dengan semakin sedikitnya orang Maluku yang berdemonstrasi ke KBRI Den Haag, pada 2007, Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende datang dalam peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menghadiri peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka, Jakarta, pada tahun 2005.
Kehadiran pejabat-pejabat tinggi Belanda ini merupakan yang pertama setelah selama lebih dari 60 tahun mereka mengingkarinya dan menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Semangat zaman baru sangat terasa di perkampungan orang-orang Maluku di Van Het Rijk. Masih segar di ingatan sore itu udara teramat dingin dan angin dingin menjatuhkan dedaunan, mencipta karpet kuning menghampar di tanah pusara di ujung permukiman Van’t Rijk. ”Di sini dikuburkan para orang tua kami. Masa lalu kami,” kata Pascal.
Dia mengingatkan, sejarah itu tak bisa diputar ulang atau diingkari. Sebagaimana digambarkan dalam foto-foto kenangan Leonard Freed tentang ”orang-orang Indonesia di Belanda”, RMS adalah ”masa lalu”, dan mestinya tak lagi mengganjal hubungan dua negara....
Demikian catatan di balik sebuah foto yang menggambarkan seorang perempuan berwajah Ambon, dengan pakaian kebaya putih, ketika baru tiba ke Pelabuhan Amsterdam. Dalam foto yang lain, seorang perempuan berkerudung asal ”Indonesia” tampak tersenyum bahagia.
Teks di belakang foto tertulis, ”Perempuan ini meninggalkan Indonesia setelah negaranya memperoleh kemerdekaannya dan tiba di sini, di Amsterdam, untuk bergabung dengan keluarganya, yang telah datang lebih dulu.”
Foto-foto itu diabadikan oleh fotografer Magnum, Leonard Freed, selama kurun 1958-1962 dan dipamerkan di Tropenmuseum, Amsterdam, pada pengujung September 2010.
Serial foto ini menggambarkan tentang orang-orang Indonesia—kebanyakan berasal dari Ambon—saat baru datang di Belanda hingga beberapa saat setelah mereka tinggal di negeri itu. Mereka kebanyakan eks tentara Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) dan keluarga. Foto-foto ini mengingatkan pada kisah komunitas Maluku di Van Het Rijk, Nistelrode, Provinsi Noord Brabant, yang saya temui akhir Oktober 2008. ”Waktu baru datang, kami sangat menderita,” kenang Helena Mparityenan (80).
Helena adalah generasi pertama Maluku yang datang ke Belanda tahun 1951. Dia merasakan penderitaan dalam perjalanan dengan kapal dari Surabaya menuju Belanda dan hidup bertahun-tahun di barak.
Kehidupan yang pahit di Belanda membuat sebagian orang yang terusir dari kampung asalnya memendam rasa marah terhadap sesuatu yang berbau Indonesia. Sebagian dari mereka kemudian mendirikan Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda.
Gerakan yang awalnya mendapat dukungan dari masyarakat Belanda ini biasanya berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar RI (KBRI) setiap peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus dan peringatan pembentukan RMS pada 20 April.
Namun, beberapa aksi nekat simpatisan RMS membuat mereka kehilangan dukungan. Misalnya, penyanderaan 18 tenaga staf KBRI pada 1966, pendudukan Wisma Duta pada 13 Agustus 1970, dan penyanderaan di Konsulat Jenderal RI di Amsterdam tahun 1975. Puncaknya ketika mereka menyandera penumpang kereta api di Wijster dekat Beilen, Juli 1975, yang menewaskan dua orang di antaranya; pembajakan kereta api dari Assen dan Groningen, utara Belanda, pada 1977; dan penyanderaan 110 orang, sebagian besar anak sekolah, di Bovensmilde pada tahun 1978.
Masyarakat Belanda yang semula bersimpati lalu menjauh dan acuh dengan mereka. RMS kehilangan dukungan moral maupun keuangan. Tak hanya itu, generasi penerus RMS di Belanda juga semakin acuh dengan gerakan politik pendahulu mereka. Salah satunya adalah Daniel Irijanan (25) dari Nistelrode.
Kakeknya, Ezechiel Irijanan, berasal dari Maluku Tenggara dan neneknya dari Sunda. Daniel adalah generasi ketiga keturunan eks tentara KNIL yang menetap di Belanda sejak tahun 1950-an.
Daniel enggan berbicara politik, terutama yang berkaitan dengan RMS. Tema pembicaraan yang paling disukainya adalah tentang Ajax. Maklum, Daniel mengaku pendukung fanatik klub sepak bola raksasa dari Belanda itu. Daniel mengaku sudah beberapa kali pulang ke kampung leluhurnya di Ambon. Untuk berwisata dan mengunjungi kerabat.
Pascal Amukwaman, mantan Ketua Organisasi Nasional Sosial Maluku di Belanda, mengatakan, gerakan RMS tidak lagi populer di mata generasi ketiga. Walaupun masih ada simpatisan RMS, jumlahnya terus berkurang. Tidak signifikan dan gerakan ini nyaris tak terdengar lagi di Belanda dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh karena itu, banyak orang Indonesia, termasuk kalangan Maluku, di Belanda yang terkejut dengan pembatalan rencana kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda gara-gara RMS mendaftarkan tuntutan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia ke pengadilan Belanda. RMS yang semula nyaris mati angin tiba-tiba mendapat angin.
Pembatalan kunjungan ini memang mengagetkan karena terjadi di tengah membaiknya hubungan diplomatik kedua negara. Seiring dengan semakin sedikitnya orang Maluku yang berdemonstrasi ke KBRI Den Haag, pada 2007, Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende datang dalam peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menghadiri peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka, Jakarta, pada tahun 2005.
Kehadiran pejabat-pejabat tinggi Belanda ini merupakan yang pertama setelah selama lebih dari 60 tahun mereka mengingkarinya dan menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Semangat zaman baru sangat terasa di perkampungan orang-orang Maluku di Van Het Rijk. Masih segar di ingatan sore itu udara teramat dingin dan angin dingin menjatuhkan dedaunan, mencipta karpet kuning menghampar di tanah pusara di ujung permukiman Van’t Rijk. ”Di sini dikuburkan para orang tua kami. Masa lalu kami,” kata Pascal.
Dia mengingatkan, sejarah itu tak bisa diputar ulang atau diingkari. Sebagaimana digambarkan dalam foto-foto kenangan Leonard Freed tentang ”orang-orang Indonesia di Belanda”, RMS adalah ”masa lalu”, dan mestinya tak lagi mengganjal hubungan dua negara....
Social Links: